Tuesday, June 12, 2012

Histoire de Ma Vie (i)

Ayah, beliau banyak memberi saya influence dalam hidup ini. Sifatnya yang pendiam, kalem, dan lain-lain dari diri beliau, melekat pada saya.
Ayah kecil, lahir di Bandung pada 19 Agustus. Ayah lahir dari kakek yang seorang pejuang/seniman dari jawa, dan dari nenek seorang gadis dari padang.
Di tubuh ini darah jawa-padang mengalir, terasa melalui budaya yang menjadi sifat dan kebiasaan.

Kakek merupakan sosok yang mengagumkan tutur ayah saya. Beliau berjuang demi kecintaannya terhadap seni, wanita yang dicintainya, dan negara.
Kakek seorang pejuang seniman jawa, bisa disebut artistik karena beliau memiliki keahlian bernyanyi, fasih memainkan instrumen daerah, dan gerakan gestur menari jawa (saya lupa namanya apa..).
Dengan itu begitu mudah bagi beliau untuk memikat setiap penonton disekitarnya. Namun, semua berubah ketika nippon menjajah negeri ini.
Beliau berjuang berkeliling Indonesia hanya untuk menyembunyikan diri dari buruan nippon yang sangat tidak menyukai seni tradisional.
Sesekali kakek melakukan perlawanan yang membuat nippon geram. Namun, kakek lincah. Beliau diberkahi ayahnya ilmu yang dipercayai zaman dahulu.
Sampai akhirnya kakek bertemu dengan nenek di kota Padang. Ia jatuh cinta pada nenek, anak gadis Padang yang berbaik hati memberikan perlindungan.
Ketika cinta dan ketulusan kasih sayang berbicara, mereka berdua memutuskan untuk menjalin ikatan sehidup semati dan lari ke Bandung, sebuah kota yang masih terbilang bersih akan nippon.

Singkatnya, peperangan usai dan keberadaan kakek juga nenek tidak terdeteksi oleh nippon. Dalam perjalanan cintanya, beliau dikaruniakan 5 buah hati.
Keluarga kakek terbilang hidup serba berkecukupan, karena tidak ada pegangan hidup mengingat kondisi yang jauh dari kedua orang tua dan sudah mengemban tugas sebagai suatu keluarga.
Ayahku adalah anak pertama. Saat kecil, ayah selalu membantu kakek yang pada akhir usianya memutuskan untuk menjadi tukang cukur.
Ayah menyapu rambut-rambut pelanggan yang berdatangan ke tempat cukur kakek dan menemani kakek pulang pada waktu magrib.
Ayah selalu dibangunkan dari bale bambu tiap subuh, karena bale bambu tersebut hanyalah satu-satunya tempat kakek melaksanakan shalat.
Tiba pada saatnya ke empat adik ayah lahir, ayah menyadari bahwa tanggungan keluarga sangatlah berat.
Maka ayah pun memutuskan untuk bekerja sambilan sejak SMP untuk menjadi loper koran pagi.

Tiba suatu ketika, saat adik perempuan ayah yang pertama sedang pergi ke Jawa karena diajak liburan sekolah oleh adik kakek, malamnya kakek menanyakan dimana adikmu kepada ayah saya.
Kakek bertanya sambil memegang nadinya, dan bilang "aku sepertinya tidak akan bertemu dengan adikmu." ayahpun kaget namun tidak membawa statemen itu terlalu serius.
Dan menyarankan kakek untuk tidak bekerja dulu esok hari.
Pada pagi hari, ayah baru saja selesai mengantar koran ke tiap perumahan, beliau harus segera pulang untuk mempersiapkan pakaian sekolah siangnya. Ayah pulang dengan sepeda kecilnya, hasil rakitan kakek.
Namun dari kejauhan, ayah melihat keanehan yang terjadi, karena dirumahnya banyak orang-orang yang berkumpul.
Pada saat itu pula ayah mengayuh sepeda dengan kencangnya tanpa menghiraukan bebatuan di jalan yang terbilang masih belum layak pada saat itu. Sesekali ayah terjatuh, sampai pada akhirnya ayah sampai juga ke rumah.
Ketika sampai, ayah kaget karena bapaknya yang selalu mengajari berbagai nilai kehidupan telah dipanggil oleh Allah SWT.
Ingin rasanya ayah menangis, namun paman Pardi bilang "kamu laki-laki, kamu ga boleh nangis.ya?" ayahpun mengangguk tegar.

Sepeninggal kakek, ayah otomatis harus menghidupi keluarga sebagai kepala keluarga baru dari seorang ibu dan ke-4 adiknya.
Ayah terus meloper tiap pagi, terkadang ditemani adik laki-lakinya. Tiba pada saatnya krisis menimpa keluarga sederhana ayah, ada satu peninggalan dari kakek.
Kakek mewarisi cermin meja cukur antiknya. Nenek pun meminta ayah untuk menjualnya karena untuk memenuhi biaya hidup keluarga.
Yang saya kagumi dari ayah adalah rasa tanggung jawabnya yang besar.
Ayah terbilang paling pintar di sekolah, nilainya pun tak pernah mengecewakan, meski nenek tak pernah tahu bagaimana dan berapa nilai ayah.
Nenek seorang yang taat sekali pada agama. Beliau menekankan fiqih pada kelima anaknya. Nenek sangat percaya pegangannya untuk keluarga adalah do'a nya serta do'a dari anak-anaknya.
Nenek kurang bisa membaca, karena pada zamannya nenek belum ada sekolah. Nenek terbilang keras pada anak-anaknya menyoal pendidikan. Nenek ingin semua kedua anak lelaki dan ketiga anak putrinya bisa mengenyam bangku sekolah.
Maka suatu ketika nenek mendapat panggilan dari sekolah, nenek marah pada ayah saya.
"Kamu berbuat apa sampai aku harus dipanggil ke sekolah?" ujarnya. Namun ayah yang kalem hanya bilang "Kita lihat besok, mak."
Ternyata, ayah dipanggil karena mendapatkan beasiswa dan bebas biaya sekolah selama SMA. Nenek tidak mengerti apa itu beasiswa, namun ayah yakin hati kecil nenek pasti tersenyum bangga.

Nenek pun merupakan sosok ibu yang bijaksana. Ketika dirumah hanya memiliki satu butir telur ayam. Nenek mendadarnya, kemudian dibagi 6.
Dengan segala keterbatasan, rumah tanpa cahaya lampu, keluarga ini harus tetap bertahan baginya. Nenek pun membuka jasa pencucian bagi tentara pribumi.
Ketiga putrinya senantiasa membantu nenek bekerja. Namun, ada saat menyedihkan ketika keluarga sedang membutuhkan sekali biaya sehari-hari.
Nenek dan ketiga adik ayah ditipu oleh tentara setelah pakaian mereka beres dicuci. Saat ketiga putrinya menangis, nenek mengajarkan ilmu ikhlas, bahwa rizki itu akan datang lewat mana saja.

Kisah SMA ayah, ayah tergolong siswa biasa, tidak berusaha untuk terkenal. Beliau membiarkan terkenal sendiri yang menghampirinya.
Beliau memiliki sedikit teman karena pada saat itu perbedaan status sosial masih meruncing di kalangan remaja.
Namun perlahan semua terbukti, beliau terkenal karena intelegensia nya. Banyaknya teman wanita yang selalu mengajak ayah belajar bersama tidak membuat ayah berubah.
Nenek yang kebanyakan memarahi teman wanita ayah, haha. "Kamu udah izin dan makan belum, kalau belum izin ama orangtuamu besok ga boleh kesini lagi ya?" ucapnya.
Ayah makin pintar, sesekali mendapat tip belajar dari orang tua teman wanitanya. Kepintaran merupakan sex appeal ayah yang jarang bicara.
Lama kelamaan ayah terkenal di kalangan sekolah, dan mulai diajak bergabung oleh teman satu sekolahnya untuk memberikan dukungan mengantisipasi orde baru.
Malam hari ayah memutuskan menginap bersama di sekolah untuk berdemo, ketika itu polisi dan tentara menyerang sekolah ayah karena demo yang tidak wajar.
Seluruh siswa membuat lingkaran, saling menggenggam tangan sambil menyanyikan hymne pelajar. Mereka pasrah hanya demi dan untuk negara.
Pada akhirnya semuanya dipenjara selama satu hari. Nenek pun khawatir kenapa anaknya tidak pulang, karena pada saat itu belum ada alat komunikasi selular.
Ketika pulang, ayah terpaksa berbohong menginap di rumah teman, karena bila bercerita beliau dipenjara selama satu hari karena pemberontakan pasti nenek marah besar.

Singkatnya, ayah akhirnya bekerja di suatu perusahaan telekomunikasi setelah berhasil lulus dengan nilai yang bagi saya sangat memuaskan, dan perlahan-lahan membantu kehidupan keluarga, menyekolahkan adik-adiknya dan menjawab tanggungannya sebagai kepala keluarga.
Kini ayah menhjelang pensiun, merangkap sebagai asisten pak Amir (RW) di daerah saya. Sosok ayah disegani dan dihormati oleh warga disini.
Adik perempuan ayah yang pertama bekerja sebagai karyawan perusahaan tekstil milik seorang 'nci' yang berbaik hati mengangkatnya jadi anak asuh. Adik perempuan kedua ayah, sebagai guru SD negeri.
Adik lelaki ayah sebagai kartunis, lulusan sarjana seni rupa IKIP (sekarang UPI). Dan adik bungsu ayah seorang putri, kini tinggal di rumah saya dan ia sedang melanjutkan kuliah nya sebagai sarjana pendidikan dibalik profesinya sebagai guru TK islam.
Like father like son, sifat kakek yang mencintai seni sebagai ungkapan ekspresi dan emosi dan sifat ayah yang kalem, lebih mengandalkan otak daripada eksistensi serta pengakuan sekitar menjelma perlahan pada sifat saya.
Saya pun merasa beruntung sempat merasa dibesarkan oleh pelukan nenek, karena saya cucu pertama bagi nenek. Saya sangat terpukul ketika nenek meninggalkan kita semua tahun lalu.
Saya merasa belum menjadi siapa-siapa sebagai sosok yang begitu beliau banggakan saat kecil. Ayahpun sama, beliau terlihat kuat dan tegar saat sampai menguburkan almarhumah.
Namun saat malam hari, ayah menangis karena beliau telah ditinggal oleh kedua orang yang membesarkannya. Kini ayah hanya memiliki kami (anak-anaknya) untuk meringankan beban beliau.

Cerita tentang keluarga ayah sampai disini. Blog selanjutnya saya akan bercerita tentang darah sunda kental yang mengalir dari seorang ibu yang sangat cantik.
Tentang bagaimana seni menjadi pilihan hidup saya sampai nanti dan tentang kisah cinta ayah dan ibu, dimana kedua karakter yang bertolak belakang bersatu melangkah bersama.

I'm proud to be a part of their story, with hopes and prays for my deceased grandpa & grandma, as always.

No comments:

Post a Comment