Tuesday, June 5, 2012

The Unstable Librans

Sebenarnya, saya rada enggan untuk membahas bawaan lahir dan fisik. Tapi berhubung masih berkenaan dengan lahir, saya akan bahas sedikit. Lagipula, saya lebih tertarik membahas inner beauty dan pesona intelektualitas.
Saya tipikal lelaki yang tidak terlalu menomor satukan tampilan, tapi selalu ingin mencoba hal baru dalam urusan tampilan.
Saya seorang librans. Penimbang, penuh perhitungan, mungkin itu yang menyebabkan saya selalu terjebak dilema, namun kadang terlalu ceroboh untuk mengambil sebuah keputusan. Rasa ingin selalu memikat, memancarkan daya tarik, dan mencintai keindahan sudah menjadi bawaan lahir sepertinya.
Segala perspektif yang orang lain hadapkan sebagai pilihan, di mata saya selalu membingungkan. Karena terkadang, setiap opsi pilihan bagi saya memiliki sisi baik dan buruk yang sama.
Saya senang sekali membantu, namun saya tidak pernah ingin tahu mengenai privasi orang lain yang tidak terlalu saya kenal sangat dekat.
Bagi saya cuma buang ludah membicarakan dan mengurusi itu. Mungkin karena saya librans juga, saya tergolong acuh akan hal yang kurang penting, itu menekan saya.
Meskipun begitu, saya halus dan sensitif di dalam. Saya berhati-hati dalam urusan detail, tenang sekali. Marah pun terkadang tidak pernah tega. Saya terlalu lembut.
Senyum orang lain itu esensi hidup yang menarik. Saya tidak punya hak untuk menginterupsi keindahan senyum orang lain.
Jika harus marah saya lebih memilih berdebat. Terkadang saya keras kepala, tidak stabil, akhir-akhirnya mengalah karena lelah berdebat atau karena sifat tidak tegaan tadi.

Berbicara soal lahiriah, saya terlahir dengan rambut bergelombang, seperti rambut ibu. "Rambut adalah mahkota bagi wanita". Well, setidaknya ibu meletakkan sedikit pesonanya pada bagian ini untuk anak lelakinya.
Tapi saya sering mencoba berbagai model rambut, mulai dari botak, skinhead, harajuku, afro dll. Saya suka, saya ingin merasakan sensasi seni nya. Bukan untuk gaya, tapi nilai budaya. Tinggal model cornrows yang belum saya coba.
Alis saya tebal mirip alis ibu juga. Alis adalah bagian wajah yang saya suka. Saya sering memain-mainkannya ketika bicara, daya pikatnya kuat.
Mata saya slindris, sejak kelas 4 SD seharusnya saya memakai kacamata. Tetapi saya tidak merasa nyaman mengenakan kacamata. Mata ini kata sebagian orang mirip mata alm. nenek (ibunda ayah saya).
Tidak terlalu tajam dan tatapannya tulus, sehingga mudah bagi orang lain untuk menilai pikiran saya. Sungguh, mata ini tidak pandai berbohong.
Telinga saya cukup besar. Saya pernah disebut anak pintar "kamu pasti pintar ya disekolah? soalnya kupingnya besar" oleh seorng tak dikenal ketika kecil sedang bermain di taman gedung sate.
Apa hubungannya dengan kepintaran? Nonsens. Tapi saya akui, telinga ini menyimpan rapi dari apa yang saya dengar. Otak saya mungkin lupa, tapi telinga ini mempunyai "red-signal" untuk me-review hal-hal yang sudah lewat.
Lalu hidung. Hidung saya rada mancung mirip alm. nenek juga. Beruntung sekali, karena adik-adik saya tidak semancung ini. Stay limited, haha.
Bibir saya tebal, seperti bibir ibu. Saya suka menggigit bibir ini kadang-kadang, karena kenyal. Ya, saya suka kekenyalan dagingnya.
Saya memiliki dagu dengan shape serupa seperti dagu ayah, namun lembut tanpa janggut. Kapan saya punya janggut ya? Padahal sudah seperti bapak-bapak.
Leher saya jenjang mirip kedua orang tua, hanya saja minim daging. "Who cares? I'm a giraffe, i wanna eat leaves!"
Besar badan saya kurang ideal. Kurus genetika dari ayah. Saya sadar sering begadang dan berfikir mempengaruhi dan sangat menguras energi mengingat asupan akhir-akhir ini kurang seimbang.
Tangan saya panjang seperti ayah. Jemari panjang dan bentuk kuku cukup cantik seperti kuku ibu. Ini sangat memudahkan saya menggapai range-fret gitar.
Namun jari saya hanya sedikit berdaging, bea dan anis (teman kuliah) pernah memegang dan bilang jari saya aneh dan yang seperti ini jarang dimiliki "cowo".
Kulit saya coklat. Kalau hitam mungkin saya bakalan nyolong bank tiap malem karena tidak kelihatan, haha.

Otak, saya tidak pintar-pintar banget. Saya "clumsy". Tergolong ceroboh, minderan, pemikir, dan pelajar! haha ^^v
Kadang saya iri melihat orang pintar. Selalu tumbuh "desire" dan celetukan aneh di benak saya. "Elu pinter? gua juga bisa kok" atau apalah itu. Aneh pokoknya penuh tapi.
Tapi (tuh kan!), ga ada di dunia ini orang paling pintar. Kalau memang ada mungkin perang dunia bisa selesai dengan teori darwin.
Kalau memang ada orang paling pintar, mungkin dia bisa mencegah pembunuhan anak-anak yg ga bersalah dengan pendekatan karl marx.
Begitulah saya penuh perspektif dan akar-akar pertanyaan bodoh dengan jawaban positif maupun negatif yang sayapun "gatau" munculnya darimana, abaikan saja. Haha.

Saya dilahirkan dengan gaya yang aneh. Mungkin karena semasa kecil saya "disogokin" musik rock 'n roll dan "gede" ama om yang "OI! banget".
Tapi di sisi lain, saya harus mengadaptasi gaya yang menurut ibu fashionable.
Nah dilema lagi kan? Pusing kadang saya. Kalau tidak nurut salah, melawan kata hati juga salah.
Karena dua faktor tersebut, saya jadi terbiasa bersinergi memadukan setelan glamor nan oldies 80-an, dengan gaya yang menurut ibu itu modern di masa kekinian.
Kalau mau pergi dari rumah, rapi. Tapi setelah, diluar dilepas sesuai gaya yg saya inginkan.
Atau terkadang, hari ini saya mengenakan stelan merakyat yang "kucel abis" tapi menurut saya keren,
terus besoknya oldies, lusanya setelan anak musiman.
Berubah-ubah, sifat saya misterius sekali untuk saya. Dan, tidak stabil sekali lagi.
Sumpah kalau harus jujur, saya itu orangnya males pergi ke mall untuk belanja. Hmm..ke mall, itupun kalo dapet THR buat beli baju bagus taunan.
Setelan bagus pun banyaknya dikasih, ya kalau "gak" ayah ya ibu yang ngasih.  kalo gak dari someone stalker. Kadang ada aja begitu, "ojol-ojol".
Saya lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam di cimol. Saya berani adu soal keunikan dan value nya.
Baju yang saya beli di cimol dengan om anto (adik ibu) cuma "3000 rupiah" bisa bikin saya serasa memakai cubitus saat SD.
Dan saya nyaman soal ini, saya merasa saya adalah anak paling beruntung di dunia,
karena saya beda dari temen-temen SD lainnya saat itu yang sok-sok an show-off pengen dibilang "paling mampu". Taik banget.

Soal orang lain mau ngomong "cowo macem apa dong kamu?". Saya bakal menunjuk otak saya memakai telunjuk kanan, dan "nunjuk" hati pakai telunjuk kiri.
Kalaupun dipaksa jawab, ya seperti kata Rekti di majalah suave yang dulu pernah saya baca, "saya membenci maskulinitas."
saya tidak tertarik dibilang macho melalui style. Kejantanan, macho, itu datangnya dari jiwa atau soul.
Soul bukan tentang ingin terlihat seperti apakah saya supaya terihat tampan? haha, kiss my ass, ain't really care about it!
Saya bisa kok dibilang ganteng, saya bisa mempesona tanpa harus maskulin kayak "bybnd".
Modal cermin saja sudah cukup untuk melihat sepantas apakah gaya saya hari ini bisa menopang sifat dan mood saya.

Done. Di blog selanjutnya nanti, saya akan membahas tentang gen yang mengalir di raga saya.
Yup, silsilah keluarga. Disana saya akan bercerita bagaimana darah seni bisa kental sekali melekat,
mengenai mengapa romantisme menjadi begitu penting bagi saya, lalu mengenai budaya keluarga saya.
Karena disitu faktor yang membuat mengapa kemauan saya ini sulit dimengerti, sampai sekarang.
Sehingga membuat saya hanya tertarik menjalin chemistry dengan sahabat-sahabat/pasangan hidup yang suka petualangan,
untuk berpetualang bersama membantu saya mengenal siapa "si berubah-ubah" di dalam sifat saya.

No comments:

Post a Comment